2010年12月29日星期三

Cerpen

Lost My Love
          Pertama kalinya dalam hidupku menyukai seseorang yang tidak lain adalah teman sekelasku, Daniel. Perasaan itu sangat berbeda dengan perasaan sayangku pada teman-teman. Tiap kali berada di dekatnya, aku jadi deg-degan, kadang salah tingkah sendiri. Memang sih kami sering ngobrol bareng & 1 kelompok kalau ada tugas dari guru, tapi perasaan deg-deganku enggak bisa hilang juga.
            Sudah hampir 4 bulan aku menyimpan perasaanku ini di dalam hati. Kadang aku berpikir ingin dia mengetahui perasaanku padanya.Tapi, aku enggak mau jadi jauh dengannya nanti, apalagi kalau ternyata Daniel enggak ada perasaan apa-apa sama aku.
            “Hoi, kenapa lo ngelamun aja???” tanya Daniel, mengagetkanku dari belakang saat aku sedang melamun.
            “Hah?” pikiranku masih penuh khayalan saat itu, sama seperti pandangan mataku yang kosong seperti terhipnotis oleh wajah manisnya. “Gue enggak lagi ngelamun, kok. Gue lagi mikir tau!” pungkirku.
            “Mikir? Emang lo bisa mikir? Paling yang lo pikirin rumus melulu atau cowok Korea! Ah, basi!” cetus Daniel mencemoohkan.
            “Hehehe…tahu aja lo! Gue lagi pusing nih sama matematika! Soal yang kemarin dikasih Bu Jesica loh! Ingetkan?”
            “O…itu, mah udah gue kerjain! Emang yang mana yang enggak bisa? Sini, gue bantuin!”
            Daniel mulai menulis rumus & mengerjakan soal yang belum ku jawab dengan tampang seriusnya, seperti professor yang sedang meneliti penemuan baru. Selain pintar di bidang SAINS, Daniel juga pintar memainkan piano. Itulah yang membuatku semakin menyukainya. Apalagi saat di gereja, ia yang membawakan lagu-lagu misa dengan piano, seperti pianis terkenal yang sudah professional memainkannya. Hampir tak ada kesalahan tiap kali ia memainkan piano.
            “Xie-xie ya udah bantuin gue!” seruku.
            “Bu Ke Qi! Hehehe…pintar, kan gue bisa mandarin?!” Daniel tersenyum bangga.
            “Iya, dah biar lo senang!” kataku tersenyum menyindir. “O iya, 3 hari lagi ada lomba musik. Lo ikut, kan?” tanyaku penasaran akan jawabannya.
            “Mmm…enggak!!”serunya yakin.
            “Yaa…kenapa enggak ikut? Kan lo pintar main piano. Kalau lo menang dapat 10 juta. Lagi pula, lo lebih hebat daripada anak-anak lain dalam hal ini. Kemungkinan menang lo lebih besar!”
            “Sok tahu lo! Emang lo udah cek satu-satu anak di sekolah ini? Belum, kan?!”
            “Belum, sih. Tapi, dari sekian banyak anak di sekolah kita yang pernah bawain lagu misa di gereja enggak ada yang lebih bagus dari lo!”
            “Itu, kan menurut lo! Lagi pula, gue belum ada persiapan.”
            “Udah, deh enggak usah banyak alasan! Pokoknya hari ini gue daftarin lo! Ok?!”
            “Tapi…”
            “No comment!!!” cepat-cepat aku pergi keluar kelas menuju ruang OSIS karena disana merupakan tempat pendaftaran bagi siswa/i yang akan mengikuti lomba musik. Kuhampiri seorang cewek yang sedang duduk sambil mengecek lembar demi lembar formulir pendaftaran lomba musik. Ruri, sekretaris OSIS.
            “Ri, gue mau daftarin si Daniel dong!” seruku bersemangat.
            “Daniel teman sekelas lo?” tanya Ruri.
            “Yup!”
            “Tunggu bentar.” Ruri mencari formulir pendaftaran yang masih kosong di atas tumpukkan kertas-kertas yang ada di mejanya. “O iya, gue baru inget! Tadi, tuh Daniel udah daftar barengan sama Yohana!” serunya.
            Wajahku yang tadinya begitu bersemangat ingin mendaftarkan Daniel langsung berubah dalam hitungan detik menjadi masam kayak kerupuk kesiram air, langsung melempem. “O…gitu, ya? Thanks ya!” aku bergegas kembali ke kelas dengan wajah kecewa.
            Kulihat Daniel sedang duduk di kursiku sambil mengobrol dengan Yohana. Aku berusaha menyembunyikan tampang masamku dengan tersenyum.
            “Ternyata kalian berdua udah daftar barengan, ya.” kataku, mengagetkan mereka yang lagi asik mengobrol.
            “Eh, Mona?! Kok lo tahu kita barengan? Lo habis dari ruang OSIS ya? Ikutan lomba juga?” tanya Yohana.
            “Iya, gue dari sana. Tadinya pengin daftarin Daniel tapi ternyata dia udah duluan.” jawabku tanpa ekspresi.
            Cepat-cepat Daniel menarik tanganku keluar kelas.
            “Kenapa lo bawa gue keluar?” tanyaku agak sinis.
            “Gue mau jelasin yang tadi.” jawab Daniel. “Sebenarnya tadi gue sengaja ngerjain lo! Gue udah daftar duluan tadi pagi, gue pengin tahu respon lo kalau gue kerjain kayak tadi.” jelasnya merasa bersalah.
            “O…ya, udah lah nyantai aja kali!” seruku tersenyum, menyembunyikan rasa kecewaku. “Dasar kurang kerjaan!” lanjutku sambil menarik rambut Daniel cukup kencang sampai membuatnya berteriak kesakitan, lalu kembali ke kelas.
            Beberapa jam pelajaran berlalu, bel waktu istirahat berdering. Daniel menghampiri Yohana, mengajaknya ke kantin bareng. Aku hanya terdiam jealous.
            “Mona, ke kantin, yuk?” ajak Daniel berteriak dari depan pintu kelas.
            “Enggak ah. Lo aja sama Yohana, gue lagi pengin di kelas.” kataku.
            “Ya, udah. Gue beliin minum aja ya!” teriak Daniel lalu pergi bersama Yohana ke kantin.
            Sejenak aku terdiam berpikir. “Sebenarnya dia itu emang sengaja ngerjain gue atau enggak mau gue yang daftarin sih?” tanyaku dalam hati. Aku jadi teringat saat dia mengobrol dengan Yohana & mengajaknya ke kantin bareng. Hal yang agak berbeda dari biasanya. “Apa mungkin dia lagi suka sama Yohana? Kalau emang iya, apa nanti dia bakal jadi jauh sama gue? Dia pasti bakal lebih mikirin & perhatiin Yohana kalau udah jadi pacarnya.” Banyak pertanyaan tentang Daniel yang terlintas dalam pikiranku. Tapi, pertanyaan itu langsung buyar begitu Daniel & Yohana datang menghampiriku sambil menaruh minuman kaleng di atas mejaku.
            “Woi, jangan bengong melulu! Entar kesambet loh!” cetus Daniel.
            “Siapa juga yang bengong?! Gue lagi mikir tahu!” protesku.
            “Hehehe…ya udah minum dulu, tuh! Entar keburu bel masuk loh!”
            “Iya, thanks ya!” kataku tersenyum lalu membuka tutup kaleng minuman itu & meminumnya sampai habis dalam sekali teguk.
            3 hari kemudian, tepat di hari perlombaan yang diadakan di ruangan teater sekolah, aku duduk di kursi penonton sambil terus terfokus pada Daniel yang sedang memainkan lagu Satu Nusa Satu Bangsa dengan piano karena hari itu bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda. Aku sangat senang melihatnya bermain piano dengan serius tetapi santai & lihai. Seperti tak ada beban hidup.
            Perlombaan yang diikuti oleh 20 siswa dari kelas-kelas yang berbeda telah selesai. Juri-juri yang terdiri dari 3 orang guru di sekolahpun telah selesai berdiskusi menentukan siapa pemenangnya.

            “Juara ke-3 lomba piano diraih oleh Rully X-B!” seru Pak Ricky, guru Bahasa Inggris di sekolahku yang menjadi MC.
            Semua teman-teman yang mendukungnya bertepuk tangan dengan ekspresi gembira.
            “Juara ke-2 diraih oleh Yohana XII-IPA 2!” lanjut Pak Ricky.
            Daniel tersenyum senang sambil menjabat tangan Yohana. Entah kenapa aku jadi merasa sedih.
            “Dan juara pertamanya diraih oleh…Daniel XII-IPA2!” seru Pak Ricky tersenyum bangga. Begitu juga denganku. “Piagam & hadiah akan diberikan kepada masing-masing pemenang oleh Ibu Kepsek, Bu Maria!” Pak Ricky mempersilahkan Bu Maria naik ke atas panggung untuk memberikan piagam & hadiah pada Daniel, Yohana, & Rully yang berdiri berdampingan disana & memberi ucapan selamat pada mereka.
            Daniel, Yohan, & Rully turun ke belakang panggung. Acara dilanjutkan dengan lomba drama musical. Aku beranjak dari kursi, berjalan keluar pintu utama teater menuju pintu belakang teater untuk menemui Daniel. Mendadak, aku berhenti melangkah di depan pintu belakang teater. Yang kulihat, Yohana memeluk erat Daniel dengan ekspresi gembira.
            “Seharusnya, tadi gue enggak kesini ya.” Sesalku dalam hati lalu berjalan kembali ke ruang teater dengan wajah kecewa. “Tapi, gue kan bukan siapa-siapa Daniel, ya?! Jadi, percuma juga jealous begini.” Aku tersenyum heran, kembali menikmati drama musical yang sempat kulewatkan tadi.
            Beberapa hari berlalu seperti biasa di sekolah. Tapi, ada yang tak biasa dengan Daniel. Terlihat bahagia sekali, seperti baru mendapatkan uang ratusan juta.
            “Lin, si Daniel kenapa sih kelihatannya lagi senang gitu?” tanyaku pada teman sebangkuku.
            “Lo enggak tahu? Daniel tuh jadian sama Yohana.” Jawab Lina.
            “Apa?! Lo enggak bercanda, kan?” tanyaku agak ragu.
            “Ngapain juga gue bercanda?! Si Daniel nembak Yohana pas habis lomba kemarin.” Jelasnya.
            Sejenak, aku terdiam tak menyangka. Broken heart. Kurasa, benar-benar sudah putus harapan untuk mendapatkannya. Tapi, di sisi lain aku berpikir positif. Membiarkan itu berjalan seperti apa yang Tuhan kehendaki. Walaupun ia sudah memiliki pacar, hatiku masih belum berubah. Perasaan ini masih ada. Entah sampai kapan.
            Beberapa bulan berlalu setelah pelaksanaan Ujian Nasional, aku menerima hasil yang memuaskan & dinyatakan LULUS SMA. Betapa senang & bersyukurnya aku, apalagi telah diterima di Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta dengan jurusan kedokteran.
Belum lama ini, aku diberi tahu oleh temanku kalau Daniel sudah putus dengan Yohana. Perasaanku padanya-pun masih belum berubah sampai sekarang.
            “Mon, mendingan lo nyatain perasaan lo ke Daniel sebelum dia ke Singapore! Lo bakalan lebih susah contact-contactan sama dia kalau dia udah disana.” usul Lina.
            “Enggak, ah! Gue enggak berani.” kataku.
            “Ya, udah gue bantuin lo sms ke dia ya.” Kata Lina yang langsung menekan tombol-tombol handphonenya.
            *Dan, si Mona mau ngomong sama lo.*
            Ia langsung mengirim sms itu pada Daniel.
            “Aduh, mesti gimana nih gue?” tanyaku dalam hati, gelisah.
            Dering sms handphoneku membuatku terkejut & langsung berpikir kalau itu adalah sms dari Daniel.
            “Ada bunyi sms, tuh. Dilihat dong!” seru Lina.
            “Iya, bentar.” Segera kulihat isi sms itu.
*Mona, kata Lina lo mau ngomong sama gue. Ngomong apa?*
            Sejenak aku terdiam berpikir, lalu kubalas sms darinya.
            *Enggak ada, kok. Tadi Lina cuma iseng ngerjain lo. Sorry, ya.*
            “Yah, kok lo enggak bilang yang sebenarnya, sih?” tanya Lina agak kecewa.
            “Engak apa-apa. Mungkin, emang belum waktunya gue bilang tentang hal ini ke dia. Toh, kalau emang jodoh juga nanti ketemu. Dan dia akan sadar gimana perasaan gue sama dia.” kataku yakin. “Masih banyak hal yang harus gue lakukan. Membahagiakan orang tua & sekolah yang tinggi biar pintar. Enggak kayak lo!” lanjutku tertawa girang.
            “Hehehe…kurang ajar lo! Tapi, gue salut sama pemikiran lo!” Lina tersenyum bangga padaku.
            “Thanks a lot, ya udah ngebantuin gue.” kataku membalas senyumnya.
            “Sama-sama!!!” Seru Lina.
*Semoga kita bisa selalu bersama, jangan terpisah lagi.*
Itu yang kuharapkan jika bertemu dengan Daniel suatu saat nanti.

1 条评论: